Souw Bengkong, Kapitan Cina Pertama di Batavia


Untuk menyambut tahun baru Cina tahun ini, saya menerbitkan tulisan khusus terkait Cina Indonesia. Topik ini adalah hasil penelitian saya selama hampir satu setengah tahun. Silakan dibaca dan dinikmati!




Pada tanggal 30 Mei 1619, Perserikatan Perusahaan Dagang Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie / VOC) berhasil merebut Jayakarta[1] yang merupakan wilayah vasal[2] dari Kerajaan Banten. Pendudukan itu membuat wilayah Jayakarta menjadi hancur dan penduduk banyak menyingkir ke daerah lain atau wilayah pedalaman. Tahun 1621, Jayakarta akhirnya resmi menjadi Batavia yang asalnya adalah nama kastil dan juga benteng tempat pusat kegiatan Belanda pertama kali di sana.[3] VOC memerlukan pekerja yang banyak untuk pembangunan kembali Batavia, oleh karena itu, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (J. P. Coen),[4] memperkenalkan kebijakan terkait imigrasi dan deportasi. Kebijakan itu bertujuan agar suku bangsa luar Jawa mau dan tertarik untuk bekerja di Batavia (Salmon & Siu, 1997:XLIV).[5] Pemilihan suku bangsa luar pulau Jawa dikarenakan VOC mempertimbangkan adanya usaha pemberontakan melawan VOC oleh penduduk dan suku lokal di Pulau Jawa, misalnya Mataram yang berperang untuk menguasai Batavia.[6]



Batavia akhirnya menjadi kota multibangsa, bahasa, adat-istiadat, dan agama yang masing-masing berbeda. Untuk itu, diperlukan seorang pemimpin internal yang bisa berkomunikasi dengan VOC terkait berbagai hal tentang Batavia sendiri. Untuk mengatur berbagai ragam suku bangsa itu, VOC membuat suatu jabatan bernama Kapitan yang bertujuan agar pengaturan masalah terhadap masing-masing suku bangsa bisa disesuaikan dan tidak menimbulkan masalah baru bagi VOC.[7]





Sekilas tentang Souw Bengkong



Souw Bengkong[8] (蘇鳴崗/ Mínggāng) hidup antara tahun 1580-1644 (Hoetink, 1923:3) (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:279) (Salmon & Siu, 1997:113) berasal dari daerah Tongyi atau Tong’an.[9] Dia merupakan Kapitan pertama Cina di Batavia yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Coen sebagai pemimpin Cina lokal bergelar Kapitan. Dia dan Coen adalah tokoh yang berjasa dalam membangun kota Batavia. Sebelum hijrah ke Batavia, Souw tinggal di Banten.



Souw berlayar dengan jung[10] menuju Banten pada tahun 1612 atau tahun ke 39 masa Wanli (萬暦)[11] dinasti Ming. Souw pertama kali mendarat di Banten dan mengembangkan usahanya di sana. Dia adalah seorang pedagang cengkeh, pala, dan merica. Souw bersama saudara laki-lakinya bernama Tsingsuan,[12] dan menantunya Intche Muda bekerja sama dalam perdagangan lada yang skalanya cukup besar (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:279).[13] Souw juga terkenal dalam bidang perdagangan uang sebagai kreditor (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280). Selain itu, Souw juga dipercaya menjadi pedagang perantara antara petani Banten dengan pedagang asing. Usaha yang ditekuninya ini lambat laun sukses dan membuatnya menjadi kaya raya. Namanya semakin terkenal hingga menarik perhatian Coen. Coen berkenalan dengan Souw, saat dia diutus oleh Gubernur Jenderal Pieter Both ke Banten.[14]



Setelah Batavia jatuh ke tangan VOC, Coen berusaha menarik perhatian orang Cina agar mau menetap dan membangun Batavia antara lain dengan menghapus perjanjiannya dengan Pangeran Jayakarta tahun 1614 yang melarang pembangunan pemukiman Cina di sekitar loji.[15] Sikap Coen yang sangat ingin agar orang Cina hijrah ke Batavia bisa dikaitan dengan pernyataannya dalam surat yang dilayangkannya pada Dewan XVII (Heeren Seventien)[16], “daer is geen volck die ons beter dan Chineesen dienen”.[17] Akhirnya, Coen meminta Souw secara khusus untuk bekerja sama membangun Batavia.[18] Pada awalnya, Souw menolak karena merasa terlalu ditekan oleh Coen, namun akhirnya Souw luluh.[19]



Souw pertama kali hijrah bersama 200 orang Cina dari Banten ke Batavia.[20] Lima bulan setelah penaklukkan, sudah terdapat 400 orang Cina yang tinggal di Batavia (Niemeijer, 2012:61). Di Batavia, Souw tinggal di rumah mewah yang terletak tepat di selatan loji, antara Tigersgracht dan Prinsegracht (sekarang menjadi jalan Cengkeh dan jalan Teh) (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280). Arus kedatangan bangsa Cina dari wilayah Nusantara lainnya semakin banyak ke Batavia karena didatangkan oleh VOC.[21] Lohanda (1996) menyebutkan selain Banten, orang Cina di Cirebon (Chirebon) dan Jepara (Japara) juga dibujuk untuk pindah ke Batavia.



Selain seorang saudagar kaya, Souw juga memiliki hubungan yang baik dengan suku bangsa yang lain. Karena hal inilah, dia mendapatkan kepercayaan yang didapat dari berbagai pihak. Souw akhirnya diberi jabatan sebagai Kapitan pada tanggal 11 Oktober 1619 Masehi dan juga anggota dari College van Schepenen[22] oleh Coen. Jabatan sebagai anggota College van Schepenen diberikan saat dibentuknya lembaga itu yaitu tanggal 24 Juni 1620  (Lohanda, 2007:30)  (Setiono, 2008: 96). Pengangkatan Souw ini dirayakan secara meriah dengan diadakan pesta yang mengundang para pembesar VOC (Lohanda, 2007:41). Dia ditugaskan untuk mengatur dan memimpin hal terkait urusan orang Cina di Batavia pada waktu itu. Keberhasilannya dalam mempimpin membuka peluang ke tingkat kekuasaan yang lebih tinggi.



Tahun 1631, Souw membentuk kongsi dengan Lim Lacco[23] dan Chilli Gonting[24] untuk melaksanakan beberapa pekerjaan umum atas biaya VOC, misalnya pembangunan kanal selebar 30 meter di sepanjang tembok selatan kota (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280). Pada tahun 1636, Souw berkunjung ke Taiwan dengan menggunakan kapal VOC bersama Gubernur Jenderal VOC di Taiwan yaitu van de Burch (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:281). Kedatangannnya disambut dengan gegap gempita dan bahkan menerima uang sejumlah 3000 rial[25] dari bendahara setempat sebagai imbalan atas uang yang didepositkannya di Batavia (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:281-282). Dia juga diminta menjadi penasehat pemerintahan. Dia bertugas selama tiga tahun di sana. Selama di Taiwan, Souw berniat mengembangkan budidaya padi dan tebu serta tidak ragu-ragu mendatangkan tenaga kasar dari manapun guna memenuhi niatnya (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280). Tahun 1637, Souw memperluas usahanya di Taiwan dengan menjajaki pengiriman barang porselen murahan dan kain kasar asal Nanking (南京/ Nánjīng) dari Taiwan ke Quinam[26] dengan memuatkannya di kapal-kapal Kompeni (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:279).



Ada fakta menarik yang diutarakan Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Dalam bukunya, Setiono (2007) menyatakan kepergian Souw ke Taiwan adalah untuk kembali ke Cina Daratan. Dia menumpang kapal perang de Swaen pada tanggal 3 Juli 1626 yang menempuh rute ke Cina Daratan melalui Taiwan. Namun, kepulangannya ke Cina Daratan urung dilakukan karena ada maklumat dari Cina Daratan bahwa bagi orang yang bekerja sama dengan pihak Belanda, hartanya akan disita.[27] Akhirnya, dia memutuskan menetap sambil berdagang di Taiwan selama dua tahun, namun dia gagal. Dia sempat terkena kasus penyelundupan dan ditawan di Taiwan. Akhirnya, dia memutuskan kembali lagi ke Batavia setelah berhasil keluar atas bantuan pejabat VOC di Batavia. Tanggal 14 Maret 1639, dia kembali ke Batavia menumpang kapal perang Brouckoort.[28] Sekembalinya dari Taiwan tahun 1639, dia menjabat sebagai Kepala Kantor Warisan Keturunan Cina (華僑遺產局局長 (Huáqiáo Yíchǎnjú Júzhǎn) atau Boedelmeesteren voor Chineesche Sterfhuizen). Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282) menyebutkan Souw juga memperoleh kedudukannnya kembali sebagai anggota College van Schepenen.



Pada bulan keempat tahun Jiashen (甲申)[29] masa Chongzhen (崇禎)[30] (antara 6 Mei 1644 sampai 4 Juni 1644), Souw wafat di Batavia dan disemayamkan di rumah seorang pejabat tinggi di jalan Mangga Dua.[31] Dia disemayamkan di rumah Phoa Benggan (Binggam) (潘眀嚴/ Pān Mingyán), penerusnya di College van Schepenen, karena menunggu pembangunan makam yang memakan waktu dua bulan (Setiono, 2008:101). Upacara pemakamannya diselenggarakan secara besar-besaran dan dia dimakamkan di kebunnya di Mangga Dua (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282).



Souw memiliki seorang istri resmi yang kemungkinan berdarah Melayu bernama Inqua, namun Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280) menyebutkan Niaij Inqua bermarga Li (李/ ) jadi kemungkinan dia adalah orang Cina, bukan orang Melayu. Salmon dan Siu (1997:113) menyebutkan dia hanya mempunyai seorang putri yang kemungkinan lahir di Taiwan dan tinggal bersama saudara laki-lakinya yang bernama Tsingsuan; serta ada dua putra dengan istrinya yang orang Bali bernama Sing Nio (承娘/ Chengniang) dan Sik Nio (錫娘/ Xiniang). Setiono (2008:93) juga mengatakan dia mempunyai seorang putra yang tinggal di Cina Daratan, dua putra dari seorang budak Bali, seorang putra lain dari seorang Keturunan Cina dan juga seorang putri dari seorang Keturunan Cina lainnya. Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282) sendiri menuliskan Souw mempunyai putri bernama Kianio[32] yang tinggal bersama saudaranya Tsingsuan; dua anak haram dari seorang wanita Bali yang lahir di Batavia bernama Sing Nio dan Sik Nio dan muncul di nisan tahun 1644.








Kapitan dalam Struktur Pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda



Kapitan secara umum merupakan salah satu jabatan dalam struktur Koomandant yang dibentuk oleh pemerintahan VOC dan tetap ada sampai masa Pemerintahan Hindia-Belanda.[33] Lohanda (1996: 33) berpendapat sistem Kapitan mungkin diadaptasi dari sistem syahbandar (shah-bandar)[34] yang berfungsi untuk menangani perdagangan dan hubungan dengan orang asing dalam sistem kerajaan di Nusantara. Sistem inilah yang kemudian diadaptasi oleh negara koloni Barat (Portugis, Belanda dan kemudian Inggris) untuk digunakan dalam menangani kaum pribumi yang ada dalam koloni mereka. Lebih lanjut lagi, Lohanda (1996:50-51) menyebutkan syahbandar ini menjadi wakil dari kelompok pedagang asing dan dipilih secara internal. Selain bertugas untuk berkomunikasi dengan pemerintah lokal, mereka juga dipercaya sebagai penengah jika konflik internal dalam kelompok mereka.



Ketika VOC datang ke Jayakarta, waktu itu sudah ada sistem syahbandar, namun tidak serumit sistem yang ada di Malaka.[35] Kewajiban seorang syahbandar di Jayakarta waktu itu hanya sebagai perantara antara penguasa setempat dengan pihak asing. Setelah Jayakarta berhasil dikuasai dan berubah nama menjadi Batavia, dibentuklah jabatan Kapitan (Kapitein).



Jabatan Kapitan dibagi menjadi dua kelompok.[36] Kelompok warga Timur Asing yang terdiri dari penduduk Cina, penduduk Moor dan Bengali serta penduduk Arab. Kelompok yang kedua dari warga Pribumi (Inlandsche Koomandant) yang terdiri dari Melayu, Jawa bagian Timur (Ooster-Javanen), Jawa bagian Barat (Wester-Javanen), Sumbawa, Mandar (Mandhar), Ambon, Buton, Bugis, Makassar, Bali, Manggarai.[37] Sekitar tahun 1829, secara khusus jabatan Komandan Pribumi sepenuhnya dihapuskan. Hal ini dikarenakan sudah diberlakukan sistem distrik yang dikembangkan semenjak kekuasaan Herman Willem Daendels (1808-1811) di Batavia dan wilayah kekuasaan Belanda lainnya (Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, 2007:16-17). Selain hal itu, alasan dihapuskannya jabatan Komandan Pribumi karena Pemerintah Hindia-Belanda menganggap sudah ada pembauran antarwarga sehingga tercipta generasi baru yang sudah kehilangan etnisitas mereka. Sistem ini kemudian digantikan dengan sistem Komandan Distrik, jabatan ini diisi oleh para mantan pemangku jabatan Komandan Pribumi dan di bawah stuktur administrasi Inlands Bestuur (Dewan Urusan dalam Wilayah) (Lohanda, 2007:18). Jabatan untuk Mayor Cina, Kepala Warga Moor dan Bengali (Hoofd der Mooren en Bengalezeen) serta Kapitan Arab tetap ada hingga masa Pemerintahan Hindia-Belanda berakhir (1942).[38] Pada Abad XVII juga ada jabatan Kapitan Jepang (Kapitein der Japanners), namun berlangsung singkat  (Lohanda, 2007:56).[39]



Kapitan (甲必丹/ Kapitein) untuk masyarakat Cina-Indonesia merupakan salah satu struktur Chineesche Officier (Opsir Cina) di bawah pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda.[40] Chineesche Officier dibentuk pada bulan Oktober 1619 (Lohanda, 1996:56). Awalnya hanya ada gelar Kapitan dalam struktur masyarakat Cina di Batavia yang dibuat pada tahun 1619 oleh VOC. Namun, seiring berlalunya waktu ada penambahan gelar yaitu Sersan, Letnan, dan Mayor. Sersan dan Letnan dibentuk pada tahun 1678 saat Tjoa Hianggiok[41] diangkat menjadi Kapitan sedangkan jabatan Mayor pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yaitu pada tahun 1837 (Salmon & Siu, 1997:L). Pada masa Hindia-Belanda hanya menjadi tiga jabatan yaitu Letnan (雷珍蘭/ léizhēnlán), Kapitan (甲必丹/ jiǎbìdān) dan Mayor (媽腰/ māyao)  (Hoetink, 2007:VI) (Salmon & Siu, 1997:L). Ada 22 Kapitan dan 73 Letnan selama masa berkuasanya VOC (Lohanda, 1996:68). Sampai tahun 1878, jabatan Kapitan selalu dipegang oleh orang Hokkian karena mereka lebih dahulu menetap di Batavia, namun dengan campur tangan pemerintah Hindia-Belanda, Keturunan Cina non-Hokkian bisa menjabat kedudukan tersebut (Lohanda, 1996:58-59).



Salah satu alasan dibuatnya sistem Kapitan karena VOC tidak mau dipusingkan dengan urusan berbagai kelompok etnis yang berbeda-beda adat-istiadatnya sehingga diperlukan seorang pemimpin (Hoetink, 2007: IX-X). Hal ini akan mempermudah pemberian hukuman jika terjadi suatu masalah, misalnya penduduk kulit putih akan memakai hukum Eropah, penduduk pribumi memakai hukum Islam dan penduduk Cina akan memakai hukuman yang disesuaikan dengan adat-istiadat leluhur mereka.



Ada beberapa syarat untuk menjadi Kapitan, selain kekuatan secara finansial, latar belakang keluarga, hubungan baik dengan pejabat pemerintahan kolonial dan masyarakat pribumi juga diutamakan; namun syarat finansial tidak dijadikan patokan dalam pemilihan semenjak tahun 1837 (Hoetink, 2007:VI). Selain itu, ada syarat khusus antara lain bebas madat atau opium saat pemberantasan opium sedang gencar dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda (Hoetink, 2007:VII).



Sistem pemilihan Kapitan pada awalnya tergantung pada Gubernur Jenderal yang berkuasa (Lohanda, 1996: 67-68). Mulai tahun 1816, ketika Pemerintah Belanda mengambil alih Nusantara dari VOC dan membentuk Pemerintahan Hindia-Belanda, maka ada beberapa perubahan dalam sistem penilaian. Penilain seperti kemampuan bergaul dengan warga pribumi (ada bae sama orang kampoeng), kemampuan keuangan, pengetahuan akan adat-istiadat dan sumbangannya terhadap masyarakatnya sendiri cukup diperhitungkan (Lohanda, 1997: 69).





Souw Bengkong dan Peranannya dalam Sejarah Batavia



Mona Lohanda menyatakan bahwa Souw Bengkong merupakan Kapitan Cina pertama di Batavia yang terkenal kaya-raya, multikultural, dan bersahabat baik dengan orang nomor satu VOC waktu itu, yaitu Gubernur Jenderal Coen (Hoetink, 2007:IV). Coen juga menggangap Souw sebagai sahabatnya (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:279). Dia juga memiliki hubungan baik dan bekerja sama erat sekali dengan para Gubernur Jenderal semenjak Coen hingga Antonio van Diemen.[42] Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:281) berpendapat Souw pandai mengambil hati para Gubernur Jenderal misalnya (1) dia mengirimkan dua gulung kain damas[43] merah, dua gulung kain halus dan dua kendil[44] manisan jahe buat Coen saat dia cuti di Belanda; (2) Pemberian medali emas kepada Specx[45], yang meletakkan jabatan pada tahun 1632, sebagai tanda penghormatan. Hal ini kelak membuatnya mendapatkan kemudahan antara lain (1) dia diberi hak atas pak perjudian pada tahun 1623; (2) dibebaskan dari pajak perorangan bersama sepuluh orang sebangsanya yang mendapat referensi darinya; (3) kapal bermuatan ladanya yang datang dari Sumatera dibebaskan dari bea cukai (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:281)



Peranan Souw paling awal yaitu membujuk orang-orang Cina di Banten agar hijrah bersamanya ke Batavia. Kemudian, merekalah yang menjadi tulang punggung perkembangan Batavia. Dalam sekejap, mereka terjun ke bidang perdagangan, pertamanan, penanaman padi, dan perikanan, kemudian hidup sebagai pekerja terampil, tukang pipa, tukang kayu, pemotong kayu, dan pemilik toko (Lohanda, 1996:7). Selain itu, orang Cina juga dipekerjakan penggali kanal (grachten) dan pembuatan kapal. Mereka yang hidup di Ommelanden (daerah luar kota) membangun perkebunan tebu dan penyulingan arak.



Pada tanggal 11 Oktober 1619, Souw Bengkong diberi jabatan sebagai Kapitan oleh VOC yang dibawahi oleh Gubernur Jenderal Coen. Sebagai seorang Kapitan, Souw bertugas untuk mengatur segala urusan terkait dengan urusan orang Cina di Batavia pada kala itu termasuk urusan sipil dan mengatasi berbagai keributan kecil antarsesama orang Cina (Setiono, 2008:96). Tugas pertama Souw sebagai Kapitan adalah memungut pajak orang Cina yang disebut hoofdgeld der Chineezen (pajak perorangan). [46]



Tanggal 24 Juni 1620, College van Schepenen (政院議員/ Zhèngyuàn Yìyuán) dibentuk, saat itu jugalah Souw diberi jabatan sebagai anggota dalam lembaga tersebut. Lohanda (2007:30) mengatakan College van Schepenen merupakan sebuah lembaga yang mengurus administrasi kota, mulai dari menyusun peraturan tentang tatakota, pencatatan penduduk, sampai kepada urusan pengadilan, seperti catatan sipil (kelahiran, perkawinan, dan kematian), akte jual-beli, pembebasan budak sampai kepada urusan polisi dan kriminal.[47] Tanggal 19 September 1664, VOC membuat College van Heemraden untuk menangani urusan daerah luar kota (Ommelanden van Batavia). Dalam College van Schepenen, Souw tidak hanya menjadi penasihat namun juga memutuskan perkara terkait urusan bangsa Cina di Batavia yang diajukan oleh majelis (Setiono, 2008:96-97). Kekuasaan Souw meningkat dengan diberikannya kekuasaan penuh untuk menangkap orang Cina yang menurutnya harus ditangkap untuk diserahkan kepada VOC. Kekuasaan itu diberikan pada tanggal 18 Agustus 1920 oleh Coen (Setiono, 2008:97). Dalam melaksanakan tugasnya, Souw dibantu oleh seorang peranakan[48] bernama Gouw Cay.[49] Keduanya tidak digaji namun diberi hak untuk menarik cukai sebesar 20% (Setiono, 2008:97).



Populasi orang Cina di Batavia meningkat pesat menjadi 1000 orang pada tahun 1920, dibandingkan 1619 yang hanya 400 orang (Setiono, 2008:98). Atas jasa Souw dalam membantu memajukan Batavia, Coen membuat surat keputusan tertanggal 1 Februari 1923 yang isinya pemberian dua bidang kebun kelapa kepada Souw (Setiono, 2008:98). Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:280) menyatakan fakta lain bahwa diberikannya kebun kelapa itu untuk memastikan pasokan tuak[50] yang teratur kepada VOC. Selain sudah dibangun rumah batu yang dibiayai VOC, ada penjagaan siang-malam oleh tentara VOC di kebun kelapa tersebut demi keamanan Souw sekeluarga. Tahun 1928, Souw membantu pemerintah VOC dengan mengirimkan bala bantuan sebanyak 700 orang Cina saat pasukan Sultan Agung mengepung Batavia.



Souw diberikan kekuasaan untuk membuat mata uangnya sendiri untuk keperluan berdagang dengan orang pribumi di Kalimanta (Setiono, 2008:99). Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:281) menyatakan tahun 1633, Souw dan rekannya bernama Jancon[51] mendapatkan lisensi untuk membuat uang receh (cassies ofte pitches) yang dibutuhkan VOC dalam perdagangan di Jawa dan Kalimantan. Timah untuk pembuatan uang receh tersebut harus dibeli dari VOC dan tanpa dibebani pajak.



Souw sempat ke Taiwan dari tahun 1636. Sekembalinya dari Taiwan tahun 1639, dia menjabat sebagai Kepala Kantor Warisan Keturunan Cina.[52] Tugasnya adalah mengurusi dan melindungi harta peninggalan orang Cina di Batavia yang tidak mempunyai ahli waris lagi. Kemudian, Souw bersama Lim Lacco menuntut perhatian dari Pemerintah VOC agar memperhatikan kesehatan dari penduduk di kampung orang Cina (Setiono, 2008:100). Tuntutan keduanya akhirnya juga dipenuhi dan akhirnya dibentuklah Rumah Sakit Cina merangkap panti jompo yang mengambil dana dari Kantor Warisan Keturunan Cina (Niemeijer, 2012:73). Ini membuktikan pengaruh Souw yang masih sangat kuat walaupun tidak menjabat sebagai Kapitan atau anggota College van Schepenen.





Penutup



Souw merupakan salah satu pendiri kota Batavia. Dia diajak oleh Coen untuk hijrah dari Banten menuju Batavia. Banyak orang Cina di Banten yang mau hijrah ke Batavia karena pengaruhnya. Hal ini membuktikan bahwa dia cukup disegani dan dihormati di kalangan masyarakat Cina sendiri. Souw diberi jabatan oleh Coen sebagai Kapitan pada tanggal 11 Oktober 1619 Masehi dan anggota dari College van Schepenen pada tanggal 24 Juni 1620. Hal ini menunjukkan hubungan antara etnis Cina dan Belanda pada masa itu sangat erat. Kedua jabatan itu sangat penting karena menyangkut kepemimpinannya terhadap masyarakat Cina di Batavia. Pengangkatan dirinya sebagai anggota College van Schepenen juga membuktikan VOC memperhitungkan keberadaan Souw dan orang Cina di Batavia. Perjalanan Souw ke Taiwan juga merupakan fakta yang cukup menarik, hal ini menunjukkan bahwa Souw sangat berpengaruh dengan melakukan kunjungan serta diangkat menjadi penasehat VOC di sana. Bahkan, setelah kepulangannya dari Taiwan, Souw ditugaskan untuk menjabat sebagai Kepala Kantor Warisan Keturunan Cina (華僑遺產局局長/ Huáqiáo Yíchǎnjú Júzhǎng) atau Boedelmeesteren voor Chineesche Sterfhuizen). Selain itu, dia berhasil membuat pemerintah VOC mau mendirikan Rumah Sakit Cina yang merangkap panti jompo. Hal ini menunjukkan Souw sangat berpengaruh hingga mampu membuat Pemerintah VOC menuruti permintaannya. Penelitian juga menunjukkan kontribusi orang Cina sangat nyata bagi kota Batavia. Orang Cina yang dikepalai oleh Souw cukup disegani oleh Pemerintah VOC. Bahkan, dapat dilihat hubungan mereka sangat harmonis. Mereka juga yang menjadi tulang punggung perkembangan kota Batavia pasca-dikuasai oleh VOC, serta menjadi penggerak ekonomi dan merupakan salah satu bagian tak terpisahkan dari sejarah Batavia.





Daftar Acuan



A. S., Marcus dan Pax Benedanto. 2007. Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.



Dawis, A., 2010. Orang Indonesia Tionghoa: Mencari Identitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.



Groeneveldt, W., 2009. Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Depok: Komunitas Bambu.



Hidayat, K. & Widjanarko, P., 2008. Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa. Jakarta: PT. Mizan Publika.



Hoetink, B., 1917. So Bing Kong. Het Eerste Hoofd der Chineezen te Batavia (1619-1636) dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië, 73 (3de/ 4de), pp. 344-415.



Hoetink, B., 1923. So Bing Kong. Het Eerste Hoofd der Chineezen Te Batavia (Eene Nalezing) dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië, 79 (1ste / 2de), pp. 1-44.



Hoetink, B., 2007. Ni Hoe Kong: Kapitein Tiong Hoa di Betawie dalem tahon 1740. Depok: Masup Jakarta.



Lohanda, M., 1996. The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942. Jakarta: Djambatan.



Lohanda, M., 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Depok: Masup Jakarta.



Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian I: Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Lombard, D., 2000. Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Niemeijer, H. E., 2012. Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok: Masup Jakarta.



Notosutanto, N., 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metodologi Sejarah. Depok: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.



Onghokham, 2009. Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.



Ricklefs, C. M.,  2001,  A History of Modern Indonesia Since C. 1200, California: Standford University Press.



Salmon, C. & Siu, A. K., 1997. Chinese Epigraphic Materials in Indonesia (Volume 2, Part 1). Singapore: South Seas Society.



Setiono, B. G., 2008. Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. Jakarta: TransMedia.



Setyautama, S., 2008. 印尼華族名人集:Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.



Suhandinata, J., 2009. WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi & Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.



Suryadinata, L., 1999. Etnis Tionghoa dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES.



Suryadinata, L., 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Jakarta: PT. Kompas Gramedia Nusantara.



Tan, C.-B., 2004. Chinese Overseas: Comparative Cultural Issues. Hong Kong: Hong Kong University Press.



Tan, C.-B., Storey, C. & Zimmerman, J., 2007. Chinese Overseas: Migration, Research and Documentation. Hongkong: Chinese University Press.



Tsai, Shih-Shan Henry. 2009. Maritime Taiwan: Historical Encounters With the East and the West. New York: M.E. Sharpe.



Taylor, J. G., 2009. Kehidupan Sosial di Batavia. Depok: Masup Jakarta.



Vermeulen, J. T., 2010. Tionghoa di Batavia dan Huru Hara 1740. Depok: Komunitas Bambu.





Catatan kaki



[1]Nama Jakarta pada masa kekuasaan Pangeran Wijayakrama, dalam sumber berbahasa Cina sering disebutkan sebagai 吧浪 (Bālàng), 吧陵(Bālíng), 目礁夷 (Mùjiāoyí). Selain itu, Jayakarta juga dinamakan Kelapa atau Sunda Kelapa (pada masa kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran), nama Cinanya噶喇吧 (Gálǎba), 加留吧 (Jiāliúba),  椰城 (Yēchéng). Sekarang setelah berubah nama menjadi Jakarta, nama Cinanya juga berubah menjadi 雅加達 (Yǎjiādá) . Lihat Claudine Salmon dan Anthony K.K. Siu (1997), Chinese Epigraphic Materials in Indonesia (Volume 2, Part 1),  hlm. XLIV



[2] Daerah taklukan. serikat; takluk (negara kpd negara lain). Lihat Pusat Bahasa (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 1605



[3] Ada dua versi tentang nama Batavia. Pertama berasal dari nama sebuah kastil. Kastil ini didirikan pada12 Maret 1619. Pada awalnya, Coen ingin mempergunakan nama Nieuw Hoorn untuk mengenang tempat kelahirannya di Belanda yaitu kota Hoorn, namun tidak digubris oleh De Heeren Seventien (Dewan XVII) yang lebih memilih nama Batavia. Baca lebih lanjut Mona Lohanda, (2007), Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, hlm. 4-5. Versi kedua berasal dari kata Batavier, nenek moyang orang Belanda yang berasal dari bangsa Jerman Kuno. Lihat Benny G. Setiono (2008), Tionghoa dalam Pusaran Politik: Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia, hlm 80



[4] Jan Pieterszoon Coen merupakan gubernur jenderal kedua VOC yang diangkat dari  Maret 1619-1623 dan 1927-1929. Dia lahir di kota Hoorn pada tahun 1587. Pertama kali tiba di Banten tahun 1607 dengan jabatan onderkoopman (pedagang junior). Tahun 1612 datang lagi dengan jabatan opperkoopman (pedagang senior). Pada saat Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal pertama (1610), Coen menjabat sebagai Direktur Jenderal. Coen juga yang menyarankan untuk merebut Jayakarta, menghancurkannya dan kemudian membangunnya menjadi Batavia supaya perdagangan  rempah-rempah bisa dimonopoli.  Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm 77-78



[5] Suku bangsa itu adalah Bugis, Makassar, Bali, Ambon dan Cina



[6] Pertikaian dengan Mataram terjadi saat ditolaknya usul persekutuan antara Belanda dan Mataram yang dipimpin Sultan Agung untuk menghancurkan kerajaan Banten. Mataram menyerang pada tahun 1628 dalam dua gelombang yaitu bulan Agustus dan Oktober serta 1629, namun keduanya gagal dan menimbulkan kerugian besar. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm 81-82



[7] Jabatan Kapitan sendiri juga terdapat di wilayah Thailand, Filipina dan kepulauan Nusantara (Singapura, Malaysia, Brunei, Indonesia). Pada dasarnya jabatan mereka sama yaitu untuk memimpin kelompoknya. Hanya di Singapura dan Malaysia, jabatan Kapitan Cina menjadi lebih rumit karena masih berdasarkan kelompok suku, misalnya Hokkian, Hakka dan Teochew. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi di Batavia yang hanya ada seorang Kapitan untuk masing-masing suku. Lihat Mona Lohanda (1996), The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942, hlm. 58



[8] Souw Bengkong merupakan ejaan蘇鳴崗dalam bahasa Cina dialek Minnan. Hoetink menggunakan nama So Bing Kong dalam artikelnya So Bing Kong. Het Eerste Hoofd der Chineezen Te Batavia (1619-1636) dan So Bing Kong. Het Eerste Hoofd der Chineezen Te Batavia (Eene Nalezing).; Lohanda memakai Souw Beng Kong (Bencon to the Dutch) dalam bukunya The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942. Dalam kata pengantar buku Ni Hoe Kong: Kapitein Tiong Hoa di Betawie dalem Tahon 1740 karya Hoetink, Lohanda menggunakan Souw Beng Kong. Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:279) menggunakan nama So Bing Kong, dia juga sering disebut Bencongh atau Bencon. Alih aksara dalam bahasa Kanton akan menjadi Sou1 Ming4gong1. Penulis akan memakai ejaan Souw Bengkong dengan penggabungan dua nama diri sesuai dengan cara penulisan nama dalam Bahasa Cina modern guna kekonsistenan penulisan nama. Untuk tranksripsi akan disesuaikan dengan nisan dan pada bagian penerjemahan akan disesuaikan kembali menjadi Souw Bengkong



[9] Tongyi (同邑) sekarang dinamakan Tong’an (同安). Dulunya daerah ini masuk dalam wilayah Quanzhou (泉州), Fujian (福建). Tong’an sekarang merupakan bagian dari kota Xiamen/Amoy (厦门), provinsi Fujian (福建), Republik Rakyat Cina (中華人民共和國). Daerah ini terletak di selatan Cina yang merupakan asal transmigran Cina terbesar ke Indonesia.



[10] Perahu besar untuk di lautan buatan  Negeri Cina. Lihat Pusat Bahasa (2008), op. cit., hlm. 605



[11] Masa Wanli dipimpin oleh kaisar Ming Shenzong (明神宗), yang terlahir sebagai Zhu Yijun (朱翊鈞), berlangsung dari 1573-1619~1620 dalam kalendar Gregorian.



[12] Penulis tidak menemukan hanzi untuk Tsingsuan dalam sumber tulisan Hoetink, B., 1923. So Bing Kong. Het Eerste Hoofd der Chineezen Te Batavia (Eene Nalezing) dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië, 79 (1ste / 2de) sehingga tetap menuliskan sesuai ejaan dari sumber tersebut.



[13] Tsingsuan tetap tinggal di Cina, sedangkan Intche Muda merupakan menantunya yang masuk Islam dan tinggal di Kendal



[14] Coen kagum dengan pengaruh Souw Bengkong yang sangat kuat di Banten karena dia dihormati dan dipercaya oleh penuh oleh petani Banten sebagai penengah antara mereka dan pedagang asing. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 93 dan Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm.78-79



[15] Orang Cina dianggap bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja, sehingga Coen begitu ingin bekerja sama dengan mereka membangun Batavia. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 94-95



[16] Dewan XVII (Heeren Seventien) merupakan perwakilan dari kamar dagang yang tergabung dalam VOC dan berjumlah 17 orang. Lihat Merle Calvin Ricklefs  (2001),  A History of Modern Indonesia Since C. 1200, hlm. 31



[17] Tidak ada orang yang bisa melayani kita sebagus orang Cina. Dikutip dari Mona Lohanda (1996) , op. cit., hlm. 7



[18] Hal ini dilakukan Coen karena dia sudah putus asa. Orang Cina di Batavia pada waktu itu sudah tidak percaya dengan Belanda dan menolak untuk bekerja sama, sehingga timbul pemboikatan perdagangan dengan VOC. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 95



[19] Souw menjadi luluh karena Kerajaan Banten menggusur pemukiman orang Cina di dekat pantai Banten. Hal itu dilakukan karena pemukiman tersebut dianggap mengganggu pandangan ke arah pelabuhan Banten. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 95-96



[20] Lihat Jean van de Kok, “Souw Beng Kong, Kapitan Tionghoa VOC” diambil dari http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/souw-beng-kong-Kapitan-tionghoa-voc, diakses pada 13 November 2012 pukul 08.14 WIB. Lihat juga Lihat Mona Lohanda (2007), op.cit., hlm. 41. Perpindahan orang Cina ke Batavia menimbulkan konflik baru. Kapal jung dari Cina Daratan yang dulu biasanya bersandar di Banten, sekarang bersandar di Batavia. Ini akibat taktik monopoli yang dilakukan Coen. Taktik ini menimbulkan perselisihan dengan Sultan Abdulmaali yang merasa terganggu hubungan perdagangnnya dengan Cina Daratan  menjadi terganggu. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 80-81.



[21] Selain membujuk perpindahan orang Cina dari Banten ke Batavia. Coen  juga mendatangkan banyak pekerja dari Cina Daratan. Mereka dipekerjakan sebagai kuli, tukang dan pedagang eceran untuk memajukan koloni dan perdagangan VOC. Bahkan mereka juga membajak kapal-kapal Cina untuk menculik awak mereka dan menawan untuk dipekerjakan secara paksa di Batavia. Lihat Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm.  82. Coen juga menyuruh prajuritnya untuk menculik orang Cina. Lihat  Mona Lohanda (1996), op. cit., hlm. 7



[22] Anggota Dewan Kotapraja. Lembaga yang mengurusi administrasi pemerintahan didirikan pada tanggal 1620. Lihat Mona Lohanda (2007) ,  op. cit., hlm. 9



[23] Dalam sumber lain juga disebut Lim Lak atau Limlacco. Penulis sendiri tidak menemukan hanzi untuk nama ini. Dia merupakan penerus Kepala Kantor Warisan Keturunan Cina, diangkat pada 21 Juli 1636. Lihat  Benny G. Setiono (2008), op. cit., hlm. 100. Lim Lacco disebut penerus jabatan Kapitan setelah Souw pada tahun 1936. Lihat Mona Lohanda (2007), op.cit., hlm. 45 dan Denys Lombard (2000), Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia,  hlm. 280.



[24] Pedagang lada terkenal dan teman bisnis dari Souw Bengkong. Bersama Souw dan Lim mereka bertiga sering disebut alle drije hooffden van de Chinesen alhier (Tiga kepala bangsa Cina di sini). Lihat A. S. Marcus dan Pax Benedanto (2007), Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10 , hlm. 26



[25] Nama mata uang pada zaman dulu. Lihat Pusat Bahasa (2008), op. cit., hlm.1207



[26] Nama daerah di bagian selatan Vietnam. Lihat Shih-Shan Henry Tsai (2009), Maritime Taiwan: Historical Encounters With the East and the West, hlm. 46



[27] Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282) menyatakan Souw membatalkan niatnya semula untuk meneruskan perjalanan hingga ke Amoy dan menetap di Taiwan



[28] Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282) menyebutkan dia memutuskan kembali ke Batavia pada bulan Januari dan berlayar dengan kapal Brouckoort yang dipimpin oleh kapten  J.G. Booneter setelah berlayar dari Jepang



[29] Ini merupakan penamaan tahun ke-21 dari siklus 60 tahunan dalam kalender Cina yang disebut juga Ganzhi (干支/ gānzhī). Siklus ini berulang setiap 60 tahun sekali. Tahun yang disebut Jiashen antara lain tahun 2064, 2004. 1944, 1884, 1824, 1764, 1704, 1644, 1584 dan seterusnya.



[30] Masa Chongzhen yang dipimpin oleh kaisar Ming Sizong (明思宗), terlahir sebagai Zhu Youjian (朱由檢), berlangsung dari 1628-1644 dalam kalendar Masehi. Masa ini merupakan masa terakhir dari dinasti Ming.



[31] Nsan bagian kanan menyebutkan tanggal kematian Souw adalah 4 April 1644 begitu pula Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya; Kajian Sejarah Terpadu; Bagian II: Jaringan Asia, 2000:282). Nisan bagian kiri menyebutkan bulan April 1644



[32] Penulis tidak menemukan hanzinya sehingga nama dituliskan sesuai hasil penelitian Lombard dan Hoetink



[33] Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm. 295-299



[34] Kata Shah-bandar berasal dari bahasa Persia (Iran) yang berarti Raja Perlindungan (King of the Haven, havenmeester). Lihat Mona Lohanda (1996), op. cit., hlm. 39



[35] Di Malaka, Syahbandar merupakan posisi kelima dalam sistem ini, diatasnya ada Temennggung, Laksamana, Bendara/ Bendahara dan yang paling atas Padukaraja. Syahbandar di Malaka diisi oleh empat orang yaitu dari Gujarat, Bengalis (benua keling), Jawa dan Cina.



[36] Lihat Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm. 16, 295-296 (lampiran IV), 303-304 (lampiran VI)



[37] Istilah Wester-Javanen dan Ooster-Javanen bukan merujuk ke Jawa Barat dan Jawa Timur seperti sekarang, namun merujuk pembagian orang Jawa yang tinggal di sebelah barat Kali Besar dan sebelah timur Kali Besar. Lihat Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm. 49



[38] Sejak 1916, jabatan  Kepala Warga Moor dan Bengali tidak masuk lagi dalam daftar birokrasi. Lihat Mona Lohanda  (2007), hlm. 304 catatan kaki nomor 3



[39] Jabatan ini tercatat pada tahun 1616 dan tahun 1923 ada sekitar 130 orang Jepang di Batavia.



[40]Pemerintah VOC berlangsung selama 1619-1801 sedangkan Pemerintah Hindia Belanda berlangsung dari 1816-1942.  Lihat juga B. Hoetink ( 2007), op. cit., hlm. vi



[41]Penulis tidak menemukan hanzinya sehingga nama dituliskan sesuai hasil penelitian Salmon dan Siu



[42] Berikut merupakan daftar Gubernur Jenderal VOC semasa hidup Souw: Jan Pieterszoon Coen (1619-1623), Pieter de Carpentier (1623-1627), J.P Coen (1627-1629), Jacques Specx (1629-1632), Hendrik Brouwer (1632-1636), Antonio van Diemen (1636-1645). Lih. Lohanda (2007), op. cit., hlm. 281



[43]Kain sutera, linen, atau bulu yang berbunga-bunga dan berwarna. Lihat Pusat Bahasa (2008), op. cit., hlm. 312



[44] Periuk Lihat Pusat Bahasa (2008), op. cit., hlm. 687



[45] Jacques Specx (1629-1632) Gubernur Jenderal VOC ke-7



[46] Pajak ini dibuat pada dikeluarkan pada tanggal 9 Oktober 1619. Setiap orang Cina yang berumur 16-60 tahun diwajibkan membayar pajak sebesar 1,5 rial per orang. Pajak ini hanya berlaku bagi orang Cina, untuk kaum Peranakan (yang muslim) maka tidak dipungut begitu juga bangsa pribumi. Lihat Mona Lohanda (2007), op.cit., hlm.41-42. Selain pajak perorangan, warga Cina di Batavia juga dipungut berbagai macam pajak lain, misalnya pajak pemotongan babi (untuk warga pribumi pajak ini dimasukkan ke dalam pajak pemotongan hewan, tidak dipisah layaknya untuk orang Cina), pajak rokok, pajak arak, dan pajak pertunjukkan wayang. Pendapatan dari pajak orang Cina merupakan separuh dari penghasilan kota Batavia. Lihat Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm. 53. Niemeijer (2012:62) menyatakan berbagai pajak ini digunakan VOC untuk membangun proyek-proyek pembangunan benteng, bahkan tiga perempat biaya pembangunan gedung balaikota diambil dari berbagai pajak ini, hingga tahun 1640 orang Cina pun diharuskan menyetorkan uang  untuk turut menanggung  biaya pembangunan sejumlah benteng



[47] Collegie van Schepenen hanya menangani masalah untuk penduduk sipil, Eropa, Mardjikers dan non-Eropa. Untuk masalah hukum bagi pegawai VOC, Coen membuat satu lembaga lagi pada tanggal 15 Agustus 1620 yang dinamakan Raad van Justitie. Lihat Mona Lohanda (2007), op. cit. hlm. 30



[48] Peranakan merupakan isitlah yang diberikan kepada orang Cina yang telah memeluk agama Islam, lihat Mona Lohanda (2007), op. cit., hlm. 15



[49] Penulis tidak menemukan hanzinya sehingga nama dituliskan sesuai hasil penelitian Setiono



[50] Minuman beralkohol yang dibuat dari nira aren (kelapa, siwalan) yang diragikan. Lihat Pusat Bahasa (2008), op. cit., hlm. 1549



[51] Penulis tidak menemukan hanzinya sehingga nama dituliskan sesuai hasil penelitian Lombard



[52] Dalam bukunya  Setiono (2008: 96) mengatakan Souw Bengkong juga diangkat sebagai ketua Kongkoan atau Dewan Tionghoa (Dewan Cina)  (公館/ Gōngguǎn). Mungkin yang dimaksud adalah Kantor Warisan Keturunan Cina karena Dewan Cina dibentuk pada tahun jauh sesudah kematian Souw yaitu tahun 1678 (pendapat J. Th. Vermeulen) atau 1717 (pendapat M. Sidharta)  (Lohanda, 1996:86) atau tahun 1743 (壬戌/ rénxū) pasca-huru-hara tahun 1740 atas prakarsa Gubernur Jenderal van Imhoff  (Salmon dan Siu, 1997:L)

Komentar

Postingan Populer